Bisikan Madzadda

Dahulu kala di Kota Kufa, Irak, hidup seorang penjahit yang sudah sangat tua umurnya. Penjahit renta itu bernama Bahadir. Ia tinggal bersama anaknya yang baru menginjak kepala dua. Namanya adalah Faris. Sesuai dengan artinya, Bahadir memberi nama Faris agar anaknya bisa memiliki sifat ksatria. Bahadir sangat mencintai anaknya Faris, meskipun pada kenyataannya Faris bukanlah anak kandungnya, melainkan anak terlantar dulu yang ia beli di sebuah "pasar budak".

Lebih dari lima belas tahun Faris dirawat oleh Bahadir seorang diri. Ia tumbuh menjadi pemuda yang pandai agama dan pandai ilmu pengetahuan. Suatu keistimewaan bahwa Faris juga dilimpahkan kesempurnaan fisik oleh Yang Maha Kuasa, dan semakin hari, Bahadir semakin menyadari bahwa Faris telah menjadi ksatria bagi hidupnya. Sampai suatu hari, anak tercintanya, Faris, harus pergi meninggalkan Irak dan menuntut ilmu di negri Persia.

Perpisahan dengan ayahnya adalah sesuatu yang selalu ditakuti oleh Faris. Bagaimanapun, Bahadir mendukung Faris untuk tetap pergi mencari ilmu sebanyak-banyaknya di luar sana. Faris yang patuh, sebelum pergi, memberikan kepada ayahnya lembaran-lembaran doa yang ia tulis sendiri dan ia kutip dari al-Quran. Tak lupa juga Faris meminta tolong tetangganya, seorang mamluk yang sering membantu keluarga mereka, untuk menjaga ayahnya selama ia pergi.

Faris dengan perasaan tenang, pergi menuju Persia. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan dengan kudanya, Faris sampai di suatu daerah yang cukup ramai dengan orang dari berbagai etnis. Di sana ia hendak menunggu orang yang akan mengantarnya ke rumah sang guru, tempat ia akan menuntut ilmu. Di tempat yang ia injak saat itu, tak ubahnya seperti sebuah pasar, orang dengan hewan kendaraan berlalu lalang, berguci-guci buah-buahan, porselen Cina...

Setelah cukup lama menghirup udara baru yang berderu di sekelilingnya, Faris dikagetkan dengan sebuah sengatan lembut di pinggangnya yang terbuka karena angin yang menyibak kemeja tipisnya. Seorang wanita tiba-tiba muncul dengan seekor kuda kecil di belakangnya. Faris sejenak terkesiap dengan senyum tipis yang tergaris di wajah wanita tersebut. Ia mengira dirinya telah berbuat sesuatu yang salah, entah pada dirinya atau wanita tersebut.




Faris memeriksa dirinya dan perlengkapan yang dibawanya, lalu berkata pada wanita tersebut, " Maaf, apa ada yang salah dengan diri hamba, atau mungkin dengan kuda ini?". Sang wanita tertawa sejenak dan berkata, "Ya. Apa kau tidak sadar, banyak orang yang telah memandang dan mendekat kearahmu. Mengira bahwa kau adalah budak yang siap dijual". Faris membuka mulutnya, percaya akan omongan wanita tersebut.

Ia tahu bahwa dirinya dulu juga adalah seorang anak budak yang kemudian dibeli oleh ayahnya, Bahadir. Sekalipun ayahnya tidak pernah menceritakan masalah tersebut, Faris mengerti dan tetap mengakui bahwa dirinya adalah keturunan seorang budak. "Aku tidak heran jika orang-orang menganggap demikian," sahut Faris dengan nada sedikit pahit. "Yang aku butuhkan sekarang adalah seseorang yang seharusnya mengantarku ke Bait al-Amr."

"Oh, jangan tersinggung pemuda tampan. Kata-kataku tidaklah sepenuhnya benar," jawab wanita yang bermata keabu-abuan itu. "Akulah yang akan mengantarkanmu ke sana sekarang juga. Perkenalkan, namaku Agrin, dan anda pasti adalah Faris, murid dari Irak." Wanita itu mengulurkan tangan kanan yang pergelangannya dililit dengan gelang rajutan berwarna-warni. Faris membalasnya dengan memberikan jabatan tangan yang singkat. "Ya, betul sekali." 

Tak lama kemudian, mereka berdua segera meninggalkan keramaian kota dengan kuda mereka masing-masing. Selama perjalanan, mereka berdua saling mengobrol, menceritakan kehidupan singkat mereka. Faris menceritakan tentang ayahnya yang ia tinggal, sampai tujuannya datang ke Persia. Sementara Agrin bercerita bahwa ia adalah seorang murid yang sudah lama belajar di Bait al-Amr namun belum selesai, ia juga mengatakan bahwa ia adalah seorang Majusi.

Mengetahui bahwa tamu yang dibawanya adalah seorang Muslim, Agrin menjadi tergelitik untuk bertanya mengenai agama itu. Faris yang pandai agama, dengan perlahan dan pasti menjelaskan apa saja yang menjadi tanda tanya bagi wanita Majusi tersebut. Agrin pun terpana pada kepandaiannya, dan secara tiba-tiba, ia juga jatuh hati pada ketampanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya di pria lain, seperti Faris.


Bersambung...

Komentar