101 Pertanyaan Bagaimana Menjadi Wartawan

"Apalah aku jika disandingkan dengan jurnalis kita", "Kok asik sih jalan-jalan terus", "Kak, kalau mau jadi reporter gimana?", "Kak, ada lowongan reporter nggak?". Belakangan kalimat-kalimat itu disampaikan pada saya, tapi tak jarang saya malas menyautnya.

Sementara banyak yang memuji dan minat jadi jurnalis atau wartawan atau reporter di media, banyak juga orang yang memandang negatif pekerjaan atau pekerja media itu sendiri. Contoh, bully-an seseorang di media sosial pada pewarta foto yang disamakan dengan PSK China. Whoops.

Sebelumnya perkenalkan, saya reporter satu media online gelombang dua dari perusahaan media besar di Indonesia (kata senior di satu kelas menulis di kantor saya). Tidak punya latar belakang pendidikan atau kerja di bidang jurnalistik, alhamdulillah sudah jalan tiga tahun saya bertahan di industri ini.

Melalui blog pribadi ini, saya mau berbagi dan menjawab pertanyaan yang mungkin ada di benak banyak orang di luar sana tentang bagaimana menjadi wartawan. Pertanyaan yang saya buat dan jawab sendiri :v saya coba sampaikan dari pengamatan dan hasil obrolan santai dengan sesama wartawan selama beberapa tahun terakhir ini.

Bagaimana saya bisa jadi wartawan?
Dimulai tentang diri saya, modal saya waktu pertama mendaftar adalah ijazah kuliah S1 di bidang Humaniora, spesifikasi Arab. Mendaftar lowongan sebagai editor foto di media itu saat ikut jobfair, setelah dipanggil untuk interview pertama kali, saya beralih melamar jadi reporter.

Kemudian panggilan berikutnya, diwawancara dengan user dari beberapa kanal media dan disuruh mencari plus menulis berita sendiri, saya terpilih jadi reporter gaya hidup setelah lebih dari lima kali dipanggil. Dua tahun pertama jadi reporter kesehatan, lalu sampai saat ini fokus di pariwisata.

Bagaimana kalian bisa jadi wartawan?
Ya, cari lowongan wartawan. Di media apa saja bisa, online, cetak, radio, TV, majalah, kalau lagi ada lowongan. Kalau nggak dari info di website masing-masing media, bisa dari info lowongan karir online, job fair, iklan di koran, broadcast temen juga bisa--tapi selalu verifikasi kebenaran infonya dulu ya.

Haruskah punya latar belakang jurnalistik, komunikasi, atau broadcasting?
Tergantung pekerjaan wartawan yang kamu inginkan. Kalau mau jadi reporter TV mungkin lebih cocok buat yang udah biasa bikin siaran, kalau mau jadi pewarta foto seenggaknya mau ke mana-mana bawa kamera segede gaban ...

... kalau mau jadi wartawan online di bidang ekonomi paling nggak nguasain pengetahuan ekonomi dasar, kalau mau jadi wartawan kesehatan harus pinter biologi--nggak lah! Buktinya saya yang lulusan kuliah sastra bisa bikin tulisan tentang stroke di hari kedua saya kerja jadi wartawan :v

Haruskah bisa atau senang tulis menulis?
Tergantung. Tapi kebanyakan ya, dan seenggaknya kamu punya kemampuan menganalisis informasi dan menyusun kata yang mengena dan tertata. Reporter TV dan cameraman kadang juga dituntut untuk bisa wawancara dan menulis laporan berita, apalagi wartawan koran, majalah, atau online.

Menulis itu tergantung kapasitasnya. Bisa dilihat dan dicontoh dari masing-masing hasil tulisan wartawan atau reporter, entah itu di koran, majalah, online, caption foto, atau informasi di isi video jurnalis.

Jadi apa sih kerjanya wartawan atau jurnalis?
Banyak! Ada yang kerjaannya pegang kamera untuk meliput berita jadi gambar bergerak, ada yang keliling berburu foto atau disebut pewarta foto, ada yang kerjanya di depan kamera dan kemana-mana bersama videografer, ada yang liputan untuk kemudian ditulis beritanya...

...ada yang suka laporan kejadian lewat suara, ada yang jaga di kantor untuk mengedit dan menaikkan berita, ada yang di depan komputer mantengin media sosial untuk lihat apa yang lagi tren--tapi bukan "buzzer itu" ya. Apa lagi ya? Ada yang ketinggalan?

Wartawan dapat berita dari mana?
Dari menghadiri undangan liputan, melapor kejadian atau kondisi dari pandangan mata, hunting, review, investigasi, mengejar atau menelepon narasumber, menaikkan rilis berita dari sumber informasi terpercaya, memantau dunia maya, mengambil sumber informasi dari media asing, atau mengutip berita dari media lokal yang bekerja sama.

Apapun bisa dilakukan untuk membuat berita sesuai kaidah junalistik dan idealisme media/kanal masing-masing. Tapi, semakin berita itu didapat dari narasumber utama, berita itu semakin baik--ibarat makanan, daging yang direbus lebih sehat daripada sosis. Kalau bisa juga mematuhi kode etik jurnalistik.

Ketemu orang penting atau terkenal pasti asik ya?
Pastinya! Waktu pertama jadi jurnalis saya kena sindrom norak, dikit-dikit foto, terus posting di medsos, sampai bosen sendiri. Tapi, kalau figur publik itu memang asli cantik/ganteng dan berkarisma, biasanya norak itu otomatis, sih. Ketika kalian ketemu figur publik sebagai wartawan, kalian akan bisa melihat dan menguji aslinya mereka seperti apa.

Wartawan itu kerjanya nggak kenal waktu ya?
Tergantung banyak hal, tapi umumnya waktu kerja wartawan fleksibel. Wartawan di media online bisa ada yang punya piket malam ada yang nggak, contoh wartawan bola atau megapolitan dengan wartawan kesehatan (yang harus selalu sehat :v). Reporter TV bisa jadi harus meninggalkan rumah dan ke luar kota berhari-hari untuk liputan khusus.

Reporter majalah biasanya langsung pulang setelah liputan daripada wartawan online yang harus cepat-cepat buat berita. Kalau ada undangan ikut upacara bersama presiden jam 7 berarti harus datang pagi-pagi, kalau ada liputan nonton premiere film malam hari berarti harus siap pulang tengah malam.

Apa harus selalu ke kantor?
Kebanyakan wartawan kerja di lapangan, tidak harus selalu di kantor. Teman saya dari media cetak ada yang ke kantornya beberapa bulan sekali karena memang tidak wajib ngantor. Tapi nggak sedikit juga yang harus absen ke kantor setiap hari, sekalipun ada liputan. Semua tergantung kebijakan redaksi dan kepentingan masing-masing wartawan.

Liburnya fleksibel juga nggak?
Ya, tapi bukan berarti bisa libur sesukanya. Di tempat saya, wartawan libur akhir pekan tidak selalu dua hari, karena seminggu sekali libur akhir pekan hanya sekali (jadi 5-2, 6-1). Ada lagi media online juga yang tetap memberlakukan libur akhir pekan untuk jurnalisnya dua hari, tapi diatur jadi Jumat-Sabtu atau Sabtu-Minggu atau Minggu-Senin.

Wartawan juga biasanya nggak bisa libur mengikuti tanggal merah. Di tempat saya lagi, libur tanggal merah digilir dan seringnya ada tugas khusus di tanggal merah sehingga wartawan yang ditunjuk nggak bisa libur. Tapi jangan khawatir, biasanya hak libur yang nggak bisa diambil itu bisa ditabung untuk libur panjang di kesempatan berikutnya.

Pasti sering jalan-jalan juga ya?
Pasti! Entah itu cuma di dalam kota, seorang wartawan harus siap banyak gerak dan senang bertemu orang baru. Saya pribadi jadi kenal banyak hotel dan restoran di Jakarta karena liputan. Sering juga satu hari wartawan bisa liputan di banyak tempat, biasanya dua atau tiga pindah tempat sehari (udah bikin ngos-ngosan hhe).

Yang menggiurkan dari pekerjaan wartawan juga adalah jalan-jalan gratis ke luar kota atau luar negeri. Ini tergantung kebijakan redaksi dan kepandaian menjalin relasi. Bisa jadi orang redaksi memberi peluang semua wartawannya Dinas Luar Kota (DLK) atau Negeri (DLN) dengan menggilir kesempatan dari semua undangan yang masuk.

Pintar menjalin relasi juga mempengaruhi seringnya kalian diundang PR, instansi, atau lembaga untuk ikut kunjungan ke luar kota dan negeri dengan percuma. Nggak cuma untuk liputan yang berat dan serius, sering kali wartawan dapat bonus undangan gathering yang sifatnya seru-seruan.

Wartawan sering dapat "amplop" ya?
Iya... Amplop berisi uang biasanya didapat sebagai bentuk rasa terima kasih dari pihak yang telah mengundang, ongkos menulis atau transport untuk datang memberitakan mereka. Instansi pemerintahan juga biasa memberi amplop itu setelah liputan karena sudah dianggarkan untuk kehumasan, dan wartawan harus tanda tangan di atas kertas.

Pada dasarnya setiap media tidak menyarankan penerimaan hadiah apapun terkait pemberitaan. Tapi menerima atau nggak itu hak pribadi setiap wartawan. Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai amplop itu mempengaruhi objektivitas wartawan menulis berita atau membuat wartawan kerja hanya untuk mengejar amplop. Uups... Kalau sudah seperti itu maka kredibilitas wartawan patut dipertanyakan.

Kalau pingin santai enaknya jadi wartawan apa?
Enaknya ke laut aja! Hha... Secara ritme kerja wartawan koran dan majalah lebih santai, karena beritanya nggak kejar tayang. Wartawan online juga bisa santai kalau beban beritanya minimal lima per hari, bukan 12 seperti saya... Yang capek itu kalau wartawan majalah baru kerjain tulisan menjelang waktu terbit atau ketika wartawan TV, koran, online harus running peristiwa terkini.


Gaji wartawan kecil ya?
Tergantung perusahaan media. Gaji wartawan full-time di Indonesia sepertinya nggak ada yang sampai dua digit setelah juta. Untuk fresh graduate yang belum berpengalaman biasanya gajinya sama dengan standard UMR. Wartawan berpengalaman yang pindah dari satu media ke media lain bisa jadi dapat gaji lebih besar.

Selain gaji, biasanya media memberi tambahan insentif performa, uang lembur, uang pulsa, uang makan, uang transport, SPJ atau jaminan saat wartawan liputan di luar kota/negeri, asuransi kesehatan atsu BPJS, BPJS ketenagakerjaan, dan sebagianya tergantung kebijakan perusahaan dan standar pengupahan yang berlaku.

Ada lagi wartawan freelance atau kontributor yang biasanya menjadi perwakilan di daerah di luar wilayah kantor pusat suatu media, sistem penggajiannya bisa beda. Kontributor media online atau freelance biasanya diberi upah per artikel. Kalau di online, wartawan kontri bisa dibayar Rp25ribu sampai Rp50ribu per satu artikel--yang saya tahu ya. Jadi semakin rajin mencari berita dan bikin tulisan, pendapatannya bisa besar.

(Bersambung)

Komentar