Pesona Gunung Rinjani dan Danau Segara Anak 2016

Setelah lama nggak naik gunung (macem udah bertaun-taun aja), saya yang lagi kangen gunung ini mau menulis pengalaman saya di Gunung Rinjani Oktober 2016 lalu. Mudah-mudahan jadi makin kangen dan ngebantu kalian, yang beruntung nemuin tulisan ini, mendapat secercah gambaran tentang perjalanan di Rinjani.

Jadi, ini berawal dari rasa cemburu saya sama geng naik gunung di kantor yang ke Rinjani tanpa saya. Alasannya, karena di geng itu ada bos saya. Terus? Karena kita satu desk, kita nggak boleh cuti bareng. Kasusnya sama seperti rencana Semeru tahun lalu.

Saya pun rela ditinggal mereka, yang berangkat beberapa bulan sebelum saya buat trip sendiri. Sedihnya lagi, teman sependakian Semeru yang dulu sempat berjanji setia sehati untuk mendaki Rinjani, ternyata nggak kompak karena ada yang lagi mau wisuda lah, nggak bisa cuti karena belum setahun kerja lah, ada lagi yang berangkat ke Rinjani duluan lah... Hiks.

Akhirnya hanya saya dan satu teman perempuan dari tim Semeru yang sepakat buat jalan bareng ke Rinjani. Kami pun lalu membuka ajakan share cost di Backpacker Indonesia (BPI)--seperti yang saya lakukan juga waktu mau ke Semeru.

Niat pergi 20 Juli, baru buka ajakan di BPI tanggal 15 Juni. Mepet, sih. Tapi emang biasanya kalau mepet banyak aja yang komentar mau gabung. Dan benar aja, tanggal 16 Juni bahkan saya udah buat grup. Walaupun anggotanya keluar masuk (ada yang kecelakaan, ada yang pingin jalan ke tempat lain, ada yang nggak bisa cuti), sembilan orang akhirnya fix masuk di grup itu.

***

Maap ya intro-nya panjang. Tapi inilah serunya pengalaman share cost dengan orang-orang baru yang belum dikenal. Apalagi perempuannya cuma dua dan jadi TS (baca: Topic Starter) bagi pengikut yang laki semua, itu cukup menantang! (Jadi pingin bikin share cost naik gunung lagi T.T)

Singkatnya, setelah bikin grup, saya dan teman perempuan saya Fany, langsung pimpin grup untuk memastikan semua anggota siap cuti di waktu yang disepakati, membuat rencana perjalanan, rencana perlengkapan, rencana keuangan, serta menghubungi orang lokal untuk kepastian guide dan porter. 

Karena banyak dari anggota tim yang dari luar kota, kita cuma komunikasi lewat grup Whatsapp, tanpa meet up sama sekali. But, it's okay! Itulah asyiknya share cost. Yang penting komunikasi di grup tetap terkoordinasi dengan baik dan semua mau kerja sama. Itu! *pake nada suaranya Om Mario Teguh.

Hari Pertama


Tanggal 19 Juli, kami yang jadinya hanya berTUJUH bertolak dari posisi masing-masing ke Lombok. Dua dari tim kami, Rahman dan Abdul, sudah sampai siang hari. Mereka ditugaskan berbelanja beberapa keperluan logistik bersama pemandu lokal yang bantu antar jemput, termasuk memandu di gunung. Mantap kan!

Pemandu kami namanya Bang Tape (Facebooknya: Tapoq Kmalou) baik banget! Bang Tape ini mau jemput dan antar kita di Bandara, jadi pemandu dan cari porter untuk di Rinjani empat hari, dan antar kita jalan-jalan keliling Lombok.

Sejak Mas Atok dan Mas Andi yang datang dari Yogyakarta sampai di Lombok, Bang Tape sudah menjemput. Disusul saya dari Jakarta agak malam, lalu Fany dan Koko sampai dengan pesawat terakhir ke Lombok. Rahman dan Abdul sudah bobo cantik duluan di basecamp Bang Tape di Lombok Tengah, sementara kami menyusul hampir tengah malam saat itu.

Datang dengan semua perlengkapan dan nasi bungkus yang dibeli dari warung malam itu, kami makan malam lagi, repacking, sambil ngobrol-ngobrol. Walaupun dipersilakan tidur sejenak, sebelum berangkat ke Sembalun jam 2 pagi, nyatanya tidak ada di antara kami yang bisa tidur!

Saya pun demikian karena masih jetlag dan terlalu excited dengan rencana mendaki yang akan dimulai besok pagi-pagi sekali. Sampai akhirnya berangkat dengan mobil pun tidur masih cukup susah, apalagi karena jalur jalan agak tidak ramah karena penuh kelokan. Suhu udara subuh yang makin dingin pun membuat saya tidak nyaman.

Basecamp Sembalun

Subuh hari, kami pun sampai di basecamp Sembalun, di mana kita harus mengurus registrasi dan membayar Simaksi. Di basecamp itu ada beberapa bangunan dan ruangan, seperti wisma, yang bisa dipakai untuk istirahat para pendaki. 

Dingin-dingin begitu saya nekat tidak memakai jaket (karena emang cuma modal jaket tebal buat di gunung nanti XD) dan wudhu untuk solat tubuh. Saya dan teman-teman yang lain cuma bisa bolak balik basecamp dan mobil untuk menunggu matahari pagi terbit dan warung yang jual gas buka...

Sempet bolak balik ke warung dekat basecamp, untuk jajan gorengan dan minuman hangat, kami juga terus menengok puncak Rinjani. Lampu-lampu senter para pendaki yang sedang summit begitu jelas dari posisi kami.


Seiring matahari menyingsing dan menyingkirkan masa besar kabut pagi dari sekelilingnya, kemegahan Rinjani pun mulai jelas terlihat. Oh yess, kami semua pun berdoa supaya giliran kita muncak nanti juga seindah hari itu!


***

Setelah mendapatkan tabung gas sesaat warung dibuka, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil sebentar ke titik yang menurut pemandu kami akan mempersingkat waktu daripada jalan dari pintu masuk dekat basecamp.

Sekitar jam 7 pagi kami mulai memanggul packingan empat hari, tanpa sarapan! Ya, entah apa yang ada dipikiran kami sampai-sampai nggak ada seorang pun yang ingat kalau kita harus sarapan (besar)--bukan cuma makan gorengan dari warung di dekat basecamp tadi.

Lanjut. Gambaran tentang jalur awal di Sembalun persis seperti yang saya dengar dari kawan-kawan sebelumnya yang sudah ke sana. Padang rumput cantik dengan kawanan sapi yang sedang digembalakan pagi-pagi, dengan latar Gunung Rinjani yang memesona, cantik luar biasa!

No filter
No filter juga
Padang rumput, sedikit masuk hutan, padang rumput lagi, tanjakan di padang rumput, menyeberang di jembatan sungai bekas aliran lava, kira-kira itu medan awal di jalur Sembalun. Kita juga menghabiskan waktu cukup lama di sana, karena pemandangannya bikin nggak nahan untuk berselfie--apalagi sinyal dan koneksi internet masih kuenceng di sana.


Seperti keluarga
Pemandu saya saat itu menargetkan kami sampai di Plawangan Sembalun untuk mendirikan tenda. Karena tidak tahu juga berapa lama jarak tempuh normal dan seberapa mampu kami akan sampai di sana, kami cuma ikuti arus saja.





Di jam makan siang (lupa jam berapanya) kami sampai di Pos 3. Menurut Bang Tape, kami termasuk cepat, sehingga ada harapan besar kami bisa sampai di Plawangan Sembalun sebelum gelap, dan muncak keesokan paginya! Hosh, hosh...

Di Pos 3 kami bertemu dengan porter kami, namanya Bang Wirdan. Bang Wir ini start bareng kami tapi di Pos 3 itu abangnya udah selesai masak nasi buat kami. Daebaaaak!

Jadilah di sana kami makan siang. Agak mewah karena ada rendang yang saya bawa dari rumah, saya malah sampai banyak makan--nggak kayak biasanya. Lalu duduk bareng bersama pendaki lain yang jumlahnya semakin banyak di siang hari.


Kami sempat juga solat, bahkan "tidur ayam" di tanah terbuka dengan dihujani sinar matahari. Masa bodo dengan kulit gosong! Saya lebih takut tanjakan penyesalan daripada matahari! Ada yang bilang jumlah bukitnya tujuh, tapi pengalaman saya kemarin sepertinya lebih dan saya pun masa bodoh juga...

Terus menyesal nggak? Nggak kok. cuma zebel aja... Lewatin bukit dengan tanjakan menyiksa yang nggak ada habisnya. Udah seneng sampai di puncak bukit, eh ada bukit lagi, lagi bukit, lagi dan lagi. Saya pun sampai inget cerita ustadzah di TPA dulu tentang siksa neraka. Analoginya kira-kira mirip pengalaman lewati bukit penyesalan Gunung Rinjani T.T



Tapi, saya nggak nyesel selebay itu sih (apa karena saya lupa rasanya?). Ada banyak hal yang bikin saya termotivasi melalui rintangan itu karena waktu itu banyak bule-bule kece yang naik, juga karena ada banyak orang tua (baca: kakek nenek) berdarah Asia yang naik bersama saya.

Plawangan Sembalun

Sekitar pukul lima akhirnya saya sampai di Plawangan Sembalun 1, bersama Fany dan Koko (yang lain masih jauh di belakang ternyata). Begitu sampai rasanya legaaa banget, karena udah ada banyak tenda berdiri di sana dan pendaki lain yang didominasi bule kulit putih udah santai-santai dan foto-foto.

Tapi, ternyata penyiksaan belum selesai... Udara dingin yang kencang sekali berhembus di sana buat saya nggak sanggup gerak. Koko pun mencoba mencari Bang Wirdan yang sudah lebih dulu dari Bang Tape yang mengawal dari belakang. Tapi tidak ada tanda-tanda Bang Wirdan dan tenda kami yang jumlahnya tiga.

Kemudian saya, Fany, dan Koko coba bergeser ke Plawangan Sembalun yang lain (sebelumnya saya nggak tau kalau jumlahnya ada 4 T.T). Lagi-lagi nihil. Sampai akhirnya Mas Ato dan Mas Andi muncul. Mas Andi yang sudah pernah ke Rinjani sebelumnya, berspekulasi tenda kita didirikan di Plawangan terakhir. Dia pun berinisiatif untuk mencari ke Plawangan berikutnya.

Badan saya pun sudah makin lemas saat itu, karena capek, kedinginan, dan agak kecewa karena adanya missed-com. Daan benar saja, tenda kita ada di Plawangan Sembalun 4, yang mana paling dekat dengan jalur ke puncak!

Sesampainya di sana, langit sudah gelap dan kedinginan super. Saya dan Fany langsung ke dalam tenda kita terus cari jaket, kaos kaki, sarung tangan untuk menghangatkan badan. Tapi, Bang Wirdan dengan sigap siapkan minuman hangat buat kita dan langsung masak-masak.

Tak lama Rahman dan Abdul menyusul bersama Bang Tape. Kalau nggak salah mereka telat sampai di tenda karena sempat tidur dulu di tengah jalan. Gilak emang tuh anak berdua, masih sempatnya jalan santai XP

Saya dan Fany malam itu cuma berani keluar sebentar untuk buang air kecil dan sikat gigi. Sementara di luar ramai bule-bule dan beberapa pendaki lokal yang nekat, wara wiri di luar dengan angin yang begitu kencang di tanah perkemahan terbuka. Yang bikin iri lagi, bule-bule itu bisa BAB dan BAK tanpa perlu pergi jauh dari tenda cari semak-semak gelap untuk buang hajat...

Kembali ke tenda, setelah semua selesai makan malam di jam 8, Bang Tape mengingatkan agar kita bangun jam 1 untuk mulai summit! Itu artinya, kami cuma punya waktu kurang dari lima jam untuk tidur! Wooooh... Sebelum tidur saya dan Fany pun seradak seruduk di dalem tenda, beresin persiapan untuk dibawa pas summit besok.

Hari Kedua


Perjalanan menuju Puncak Rinjani

Jam 1 pagi saya dibangunkan suara alarm handphone, begitu juga dengan Fany. Dari luar Bang Tape dan Bang Wir juga terdengar sudah bangun dan membuat roti sandwich serta teh hangat untuk dikonsumsi sebelum nanjak. Kali ini Bang Wir tidak ikut dan akan berjaga di tenda, sementara Bang Tape lah yang akan menemani kami naik ke Puncak Rinjani.

Sebelum keluar tenda, saya memakai jas hujan terlebih dulu sebelum jeket. Strategi ini saya dapat dari teman di pendakian Semeru lalu, gunanya untuk menangkal embun dan angin dingin--dan menjaga badan tetap hangat. Kemudian saya bawa ransel kecil untuk membawa barang penting dan kebutuhan darurat, dan senter di tangan. Sialnya, waktu itu ternyata senter saya setengah koit....

Ketika kami akhirnya jalan, kami membuat barisan rapat. Banyak pendaki yang menginap di Plawangan juga mulai berangkat. Meski jalanan gelap, tapi cahaya bulan purnama saat itu dan senter dari teman mendaki saya cukup membantu saya menanjak, menanjak, dan menanjak.

Sialnya, saya sempat kena serangan masuk angin setelah baru mendaki setengah jam. Perut bergas dan kentut saat mendaki mungkin biasa, tapi kali ini sakitnya sampai membuat mual dan keringat dingin keluar. Jalan sedikit berhenti, pijet-pijet perut, mendaki lagi, berhenti minum obat t*olak a*ngin. Alhamdulillah, dalam waktu 15 menit, angin di badan saya keluar semua. *terima kasih tolak angin! XD

Tak terasa jalan sudah semakin sempit, saat kami memasuki leher pegunungan. Pohon-pohon untuk perlindungan sudah tidak ada lagi, sementara angin bertiup dengan kencangnya. Jalan setengah jam, angin masih kencang, terus jalan lagi masih kencang juga. Dan siksaan itu nyatanya nggak berhenti sampai matahari naik sepenggalah....

Saya dan teman-teman pendaki lainnya bukan cuma harus berjuang dengan udara yang semakin menipis dan lelahnya berjalan, tetapi juga angin yang bertiup dengan kencangnya. Beberapa kali kami harus mencari batu besar untuk menghindari angin kencang dari sisi yang berpotongan dengan arah kami mendaki menuju puncak. 

Kalau nggak dapet di satu titik itu, berarti harus cari batu lain yang mungkin bisa didapat dengan berjalan lima belas menit lagi. Ada kalanya saya main serbu saja batu yang sudah jadi tempat persembunyian orang lain, demi menghindari angin meski harus mengancam nyawa karena posisinya dekat pinggir jurang. 

Tapi suara angin lebih membuat ngeri saat itu, dan itu hilang hanya ketika kita bersembunyi di batu. Bahkan Fany yang dikenal tidak gampang menyerah bisa memutuskan untuk tidak sampai ke puncak! Nah, loh. Saya yang optimis pun tidak bisa membiarkan ini dan terus membujuk gadis Karo ini untuk melanjutkan perjalanan.

Gadis Karo itu...

Korban angin puncak gunung
***

Matahari sudah naik dan mulai menggantikan gelap dengan terangnya, tapi angin dingin di puncak tidak kunjung reda seperti yang diharapkan. Saya tetap melanjutkan pendakian walaupun kecepatannya semakin lambat, karena kelelahan dan sedikit kecewa melihat beberapa pendaki bule yang sukses ke puncak kemudian sudah kembali turun.

Jalur letter Z atau L atau apalah yang jadi rintangan terakhir sebelum sampai puncak itu masih di depan saat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Ada yang bilang tinggal setengah jam lagi. Tapi, yang namanya gunung itu selalu PHP. Dan benar saja, jam delapan saya baru sampai puncak! 

Aaaaaaaaghhhh... Angin dingin yang bikin tubuh saya kaku masih saja menghujam ketika sampai di puncak. Sementara pendaki lain yang sudah sampai duluan sudah asyik berfoto selfie atau bersuka saat itu, saya masih mengutuk diri dan awan kabut yang menutup pemandangan Danau Segara Anak. 

Akhirnya, kami bertujuh berhasil sampai di Puncak, kecuali Abdu alias Bedu yang sudah duluan dan nggak sempat foto bareng). Kami menghabiskan waktu cukup lama di puncak yang sempit itu dengan banyak pendaki lainnya, untuk foto-foto--walaupun sedih karena pemandangan Danau Segara Anak tidak terbuka seluruhnya karena kabut. Alhasil, foto yang diharapkan seperti foto-foto pendaki di Puncak Rinjani pada umumnya cuma mimpi semata.

Tapi yasudahlah, seenggaknya kami sudah mampir ke Rumah Dewi Anjani.


***

Perjalanan turun kembali ke Plawangan Sembalun lebih santai--walaupun angin dingin masih bertiup. Jam 10 siang saat itu saya, Fany, dan Koko jadi orang terakhir yang turun dari puncak. Percaya atau nggak ada jalur yang kita lewati dengan seluncuran, gaes. 

Nggak peduli celana bakal robek atau nggak (untungnya celana saya nggak kenapa-kenapa abis itu), kita mengandalkan pantat dan tangan untuk membawa kami turun selama beberapa ratus meter di atas jalur parit berpasir. 

Akhirnya, kami sampai di tenda sekitar pukul sebelas siang. Lalu kami dikasih waktu jeda istirahat sampai jam satu siang, sebelum melanjutkan perjalanan ke perkemahan di Danau Segara Anak. 

Monyet Thuk Laif :p
Menurut perkiraan, perjalanan ke sana dari Plawangan Sembalun ditempuh dalam waktu 3-4 jam. Kita pun bergerak agak santai karena masih banyak cukup waktu setelah meninggalkan Plawangan Sembalun 4 pukul 1--apalagi karena kaki masih belum pulih setelah lelah naik ke dan turun dari puncak. Bentuk medan yang terus menurun dan cukup terjal di awal membuat kaki harus sering direm supaya nggak lari cepet atau jatuh menggelinding...  


Nggak kebayangkan setelah lihat gambarnya... Porter kami yang lewat jalur pintas katanya harus lewat jalur yang medannya lebih seram lagi dari jalur umum ini. Kami cukup banyak berhenti selama perjalanan itu dan nggak terasa kita sudah turun selama tiga jam ketika memasuki pinggiran bukit-bukit yang lebih landai jalurnya. 



Pemandangan waktu di sana benar-benar bikin terkagum-kagum, kombinasi perbukitan hijau dan langit menjelang senja yang cerah tak tergambarkan, bahkan dengan jepretan amatir seperti di atas. Yang lebih menakjubkan adalah saat kita sudah melihat air Danau Segara Anak di kejauhan. Rasanya dekat, padahal masih jauhhh...

Santainya kami membuat kami gagal sampai di tempat perkemahan sebelum gelap. Jam setengah tujuh saja kami masih harus menembus padang ilalang yang cukup lebat dan mengeluarkan senter untuk membantu berjalan dengan hati-hati. Jam tujuh akhirnya kami sampai, tapi masih harus berjalan jauh lagi untuk mencari abang porter yang membawa tenda kami.

Malam itu kami tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol setelah makan malam karena masih kelelahan pasca summit dan kurang tidur. Tapi kami cukup excited untuk puas menikmati Danau Segara Anak sampai dua hari ke depan! Yuuuhuuuuu...

Hari Ketiga

Pagi-pagi sekali saya bangun, Danau Segara Anak ditutupi kabut dan tidak terlihat, walaupun kami mendirikan tenda nyaris di pinggir. Untungnya kabut kelam itu tidak terlalu lama menutup pandangan. Jam setengah tujuh pagi itu juga langit biru tanpa awan jadi latar perbukitan hijau dan Gunung Barujari yang mengelilingi Danau Segara Anak yang cantik. Bahkan jalur menuju puncak terlihat bersih tanpa awan seperti saat kemarin kita summit *lalu jadi pingin muncak lagi... 




Yah, tapi seenggaknya niat kami memuaskan diri di Danau Segara Anak terkabulkan. Pagi hari itu kami langsung cari spot bagus untuk berfoto. Bener-bener puas sampai nggak tau pose apa lagi yang harus difoto!






Setelah puas berfoto di pinggir danau, kami kembali ke tenda untuk sarapan dan berganti baju untuk dipakai berendam di sungai belerang di belakang area perkemahan. Sungai yang jadi sumber air panas itu juga jadi lokasi hotspot untuk mendapatkan sinyal telepon daaan internet kalau beruntung!

Untuk sampai ke sana, kami ikuti panduan guide kami menuruni lereng padang rumput dengan pemandangan yang banget-banget cantik!



Daaan... Taraaaa... Sampailah saya dan kawan-kawan di surga kecil di tengah Taman Nasional Gunung Rinjani ini!


Cantik, kaaan??? :p
Sumber mata air ini mengalir melalui jalur bertingkat-tingkat. Kebetulan waktu itu banyak pendaki yang udah pergi pulang, jadi satu tingkat kolam yang agak jauh dari keramaian tenda pendaki lain bisa kita kuasain dari jam sebelas sampai hampir jam setengah dua. Untuk amannya, memang nggak bisa lama-lama di sana supaya nggak keracunan belerang dan kalau bisa ada jeda keluar dari air di sela-sela waktu berendam.

Surgaaaaaaaa

Bang Tape lagi merenung...
Kami


Setelah puas berendam untuk refleksi otot yang lelah setelah dua hari nonstop mendaki, kami kembali ke tenda untuk makan siang yang sudah disiapkan chef kami, Bang Wir. Abang ini selain jago angkat beban dengan sendal jepitnya, ternyata juga jago masak--bahkan makanan western sekalipun (akibat sering bergaul dengan pendaki bule hihi).

Yang jadi menu primadona siang itu adalah ikan goreng dari Danau Segara Anak. Ikan-ikan hasil tangkapan Bang Tape pagi tadi digoreng seadanya, tapi jangan salah, ikan yang kriuk-kriuk itu rasanya ... (isi sendiri kalau udah nyobain nanti hihi).

Dicocol sambal lebih mantep!
Sore itu saya dan teman-teman seperjalanan nggak bisa tidur (kecuali Bedu yang agak sakit) karena merasa seger banget habis terapi air panas alami. Kami juga sempat mandi-mandi cantik lagi di danau. Tapi catat, ya, kami nggak pakai sabun atau cairan kimia lain yang bisa larut air langsung di danaunya.

Sore hingga malam itu pun kami isi dengan tukeran foto, ngelawak, bikin minuman jahe, ngopi, liat aksi Chef Wirdan masak di atas api besar, makan malam, minum jahe lagi, ngelawak, curhat, sampai akhirnya kami memilih kembali ke tenda masing-masing untuk istirahat di malam terakhir kami menginap di Gunung Rinjani.

Hari Keempat

Hari terakhir di Rinjani, kami harus mengejar waktu untuk turun melalui Jalur Senaru dengan meninggalkan Danau Segara Anak sekira pukul 8 pagi. Sebelum itu, kita beres-beres perlengkapan masing-masing, termasuk perlengkapan bersama. Saya juga sempat membantu mencuci piring bekas sarapan di pinggir danau di bawah tanah kemah kami.

Sedikit cerita, saya pergi sendiri untuk kloter cucian terakhir. Pagi itu beberapa rombongan pendaki asing dari Asia terlihat mulai meninggalkan danau, yang kebetulan lewat di tempat saya mencuci piring bersama sampah-sampah yang nyangkut di pinggir danau cantik tersebut. Sebenarnya sudah dari kemarin saya agak risih dengan sampah di sekitar tempat tersebut, tapi hal yang agak memalukan terjadi di hari terakhir saya di sana.

Jadi itu terjadi saat beberapa turis Asia yang kebanyakan ibu-ibu paruh baya itu melalui saya. Dengan pede saya tetap mencuci membelakangi mereka. Tapi ada satu orang ibu-ibu yang bawa kamera tiba-tiba memanggil saya yang sedang jongkok bilas piring dengan air danau. 

"Excuse me, girl. Say cheese!"

Kira-kira itu perintahnya kepada saya yang langsung merespon dengan menengok dan tersenyum menyusul jepretan dari kameranya. Well, mungkin dia cuma mau motret muka lokal saya yang kumel ini, tapi dengan keadaan sedang mencuci piring di pinggir danau dengan air yang bau amis dan banyak sampah di sekitarnya... Tidaaaak....

Masalah sampah yang ada di Rinjani memang sangat parah. Dari Pos 3 sampai Plawangan Sembalun sampah dan sisa-sisa makanan sudah menumpuk parah dan itu jadi konsumsi burung dan monyet-monyet gunung. Yang paling parah di jalur menuju Danau Segara Anak dari Sembalun dan danau itu sendiri.
Macem-macem sampah, dari baterai sampai kaleng sering ditemukan di sana. Saking banyaknya pendaki, tisu pembasuh setelah buang air juga banyak bertebaran bersama ranjau darat yang buat perjalanan kami pendaki lokal yang nggak disediain tenda toilet agak kecewa.
Keberadaan pusat penumpukan sampah di tengah gunung dan sistem pembersihan berkala dengan jeda yang cukup lama, menurut saya kurang efektif. Kalau lihat pengalaman di Gunung Semeru atau Gunung Gede, Rinjani harusnya punya ketegasan soal sampah seperti di dua gunung itu. Ada briefing yang mengharuskan mereka bawa sampah kembali dan pendataan lengkap barang bawaan.
Tapiii, pemerintah dan pihak TNGR sudah akan memberlakukan deposit Rp500 ribu sebelum naik untuk menjamin sampah dari barang yang dibawa naik turun lagi per 1 April 2017 (baca artikel berita tulisan saya di Okezone.com).
Bang Wirdan

Foto sama tenda mewah punya pendaki Malaysia, sebelum sayounara
Jalur pulang menuju Senaru harus melalui pinggir danau terlebih dulu, lalu menanjak dan menanjak terus ke atas bukit yang melingkari Danau Segara Anak.

Masih dengan kabut

Mulai terhempas...
Peregangan sedikit sebelum disiksa jalur menanjak berikutnya
(foto oleh Fany)


Jadi, menuju Jalur Senaru itu kita harus mendaki bukit. Cukup jauh dan panjang, dan tinggi sehingga nyaris mirip seperti kita ke puncak lagi tapi lewat jalur yang lebih banyak pohon. Ada jalan panjang di pinggir bukit yang nanjaknya nggak tanggung-tanggung dan itu dilalui juga oleh porter. Nggak kebayang betapa kuatnya porter-porter Rinjani, yang rata-rata pakai sendal S*wallow. Kami aja yang cuma bawa keril belasan kilo udah ngos-ngosan dan lelah manggul bawaan--saat antri dengan pendaki asing yang cuma bawa tas kecil atau cuma bawa badan ajah!

Tengah hari kami sampai di "puncaknya" Plawangan Senaru. Kondisinya gersang dan panas, tapi dari situ juga semua pendaki bisa melihat ke seluruh permukaan Danau Segara Anak, bukit-bukit yang di antaranya puncak gunung, juga Gunung Agung di Pulau Bali. Nggak percaya? Coba cek sendiri di sana nanti, ya.

Perjalanan berikutnya juga jadi rintangan berikutnya, karena medannya berbeda dari yang sudah-sudah. Jalur menurun dari landai ke curam itu berpasir dan berbatu. Dengan kaki yang udah mulai sakit-sakit dan parno jatoh, perjalanan turun jadi sulit. Sangat disarankan membawa trekking pole, karena akan sangat membantu. Jangan kayak saya, yang harus sering ngesot karena takut terpeleset.

Setelah berjam-jam melalui jalur penyiksaan itu, akhirnya kami masuk ke daerah vegetasi atau hutan--yang jadi ciri khas jalur Senaru. Di sana ada beberapa pos yang lupa berapa jumlanya (enam atau lima.. Coba bantu saya cari tau gaes). Hujan rintik-rintik yang sempat turun juga sempat jadi rintangan di jalur tersebut, walaupun medannya sudah lebih bersahabat untuk kedua kaki saya.

Kami sempat diingatkan untuk agak bergerak cepat supaya sampai di basecamp Senaru sebelum gelap. Dan kita pun cukup cepat meski beberapa kali berhenti. Sekitar jam setengah empat, kami sudah sampai di Pos 2, lalu kami istirahat cukup lama, sebelum lanjut bergerak.

Hutan semakin rapat, suara penghuni hutan juga sesekali menyapa di sore yang cerah itu. Pendaki lain yang kami temui di Plawangan Senaru dari yang jumlanya ratusan, lama-lama berkurang ketika kami turun. Dikiranya dari Pos 2 sudah dekat dengan basecamp, sehingga kami agak santai--begitu juga dengan guide kami. Tapi ternyata ada beberapa pos bayangan yang memperpanjang jalan kami.

Langit yang sebenarnya cerah, namun karena lebatnya hutan membuat jalan kami mulai gelap. Kami terus berjalan sampai hutan betul-betul gelap dan kami butuh senter, supaya tidak salah ambil jalan. Saya sampai berdoa semoga tidak menemukan hal mengerikan... Yang itu... Tapi, alhamdulillah kami nggak mengalami hal yang aneh.

Cuma Bang Tape sempat memanasi saya dan Fany yang sudah kelelahan. Dia bilang basecamp masih jauh dan kami dibilang baru akan sampai sekitar pukul sembilan. Sungguh menyakitkan... Lebih dari kaki saya yang sudah pincang waktu itu...

Daaan kami akhirnya di gapura masuk Jalur Senaru pukul tujuh malam.

Di garis finish itu kami disambut warung penduduk, yang berdiri di antara perkebunan dengan cahaya terbatas dari generator. Kami puaskan dulu beberapa waktu untuk istirahat, makan dan minum, menelepon keluarga di rumah dengan sinyal yang ada. Kemudian untuk sampai di basecamp, kami masih harus jalan lagi beberapa ratus meter. Tidak ada rasa lelah saat itu, karena kami hanya bisa terus berjalan dan memainkan permainan lagu konyol.

Aaaaaaaghh, Rinjani aku kapok tapi kangeeeen!

--------------------------------

Eh, belum selesai... Petualangan kami di Lombok berlanjut ke sini, nih http://paramisora.blogspot.com/2016/08/backpacker-lombok-malimbu-narmada.html

Komentar

  1. yang ini, inshaallah kubales Kka, postingannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ditunggu kakak Rinjani via Torean-nya!

      Hapus

Posting Komentar