Pengalaman Pertama Couchsurfing

Hari ini saya baru saja selesai membaca buku berjudul Eat, Play, Leave (mudah-mudahan saya tidak salah mengingat judulnya...). Well, judulnya memang benar ada dan tidak tertukar dengan buku karya Elizabeth Gilbert yang berjudul mirip: Eat, Pray, Love. Buku yang saya sebutkan tidak bercerita tentang one woman's search for everything tapi one woman's discovery of bule in Ubud, Bali

Yang membuat saya jatuh cinta pada buku itu sejak pandangan pertama adalah sinopsis yang menjelaskan bahwa buku ini berisi cerita penulis dengan bule-bule Bali. Mungkin pembaca bisa langsung mendeteksi bahwa saya terobsesi dengan "bule". Hell, yeah, saya memang sedang dan masih terobsesi dengan bule-bule asing! Itulah alasan pertama mengapa saya menyukai buku tersebut, selebihnya karena saya dan sang penulis mempunyai interest yang sama, yaitu: berteman dengan bule, mempelajari kultur asing, menulis, dan couchsurfing.



Bagi yang penasaran dengan buku di atas, silakan baca dan beli sendiri ya! *promosi tulus dari seorang pembaca* Seperti yang tertulis di judul, saya tidak akan mengulas soal buku tersebut, melainkan bercerita soal pengalaman couchsurfing yang juga diceritakan dalam beberapa bab oleh kak Jenny Jusuf dalam buku Eat, Play, Leave-nya. Apa sih couchsurfing itu? Bagi yang masih belum paham, silakan cari tahu di sini.

Bagi kalian yang suka jalan-jalan sebagai budget traveler pasti familiar dengan situs-situs semacam itu. Saya sendiri belum punya banyak pengalaman traveling, tapi saya sudah mencoba bergabung dengan situs traveler seperti hospitalityclub.org sejak tahun 2008 karena terinspirasi oleh sebuah (lagi-lagi) buku. Cukup lama menjadi member, tapi ternyata tidak berfungsi apa-apa karena bertahun-tahun saya tidak punya plan untuk jalan-jalan dan "lapak" pun sepi dari permintaan nge-host. 

Tahun lalu, Agustus 2013, akhirnya saya dapat kesempatan pergi ke luar negeri untuk pertama kalinya *horee. Berhubung negara yang saya dan beberapa kawan akan kunjungi waktu itu terbilang negara mahal, saya pun mencoba untuk memanfaatkan situs Hospitality Club, yang ketika saya kunjungi sudah terlihat sangat kuna (sorry, Veit) dan penuh sarang laba-laba dari member "genit".

Saya sempat mencari host di Singapura dan menghubungi mereka, tapi dari sekian yang membalas menyatakan tidak bisa membantu karena sedang tidak di tempat dan sebagainya. Tak kehabisan akal untuk terus mencari penginapan "gratis", saya pun kembali membuka buku inspirator saya dan menemukan alternatif lain, yaitu couchsurfing.

Setelah register, dengan mudah saya pun segera mengatur itinerary dan mencari host Singapura. Sent, sent, sent. Tiga host requests berhasil saya kirimkan ke tiga cowok Singapura, tapi tidak ada satu pun yang menampung empat gadis asing selama empat malam (mungkin kita memang kebangetan...)

Walau demikian ada satu cowok kece yang bersedia menjadi guide kita di sana. Untuk pertama kalinya saya bisa mengatakan it worked! Berjuta rasanya ketika saya membayangkan akan bertemu dengan orang asing dalam misi jalan-jalan dan bertukar budaya. Selama beberapa hari sebelum keberangkatan kita saling komunikasi. Calon guide saya pun tak ragu bertanya ini itu demi bisa memberikan yang terbaik bagi calon tamu asing di negaranya :)

Sayang demi sayang, kondisi di lapangan terkadang tidak sesuai harapan. Karena kegetolan turis Indonesia dalam berbelanja, terutama di detik-detik terakhir sebelum angkat koper, dan karena faktor susah cari wifi, saya pun gagal bertemu dengan calon guide  yang dibiarkan lama menunggu kami.




Ibarat kata pepatah: "mati satu tumbuh seribu", setelah pengalaman pertama yang menyedihkan, datanglah guide request dari member CS lain di inbox saya. Berhubung saya memang tidak bisa menawarkan jasa host, saya hanya bisa diajak hang-out atau jadi travel guide di Jakarta.

Bulan Desember 2013 seorang pemuda Skandinavia mengirimi saya pesan, sebulan sebelum kedatangannya ke Indonesia. Dalam waktu yang cukup lama seperti itu ternyata kita bisa banyak bertukar informasi dan hobi, jadi saat kita bertemu kita sudah bisa akrab walaupun hanya beberapa jam saja.

Aktivitas saya di CS tidak hanya sebatas hubungan timbal-balik dengan para pelancong, tetapi juga dengan aktivitas menekuni hobi saya. Ya, belakangan saya sedang menekuni hobi bertukar kartu pos dan CS sangat membantu dalam menyumbangkan kawan-kawan baru di profil saya.

Masuk bulan Februari, saya lagi-lagi mendapat pesan dari orang asing. Kali ini lewat Facebook dan sifatnya dadakan alias last minute--berbeda dengan sebelumnya yang sudah lapor jauh-jauh hari. Dia (yang lagi-lagi) seorang cowok Skandinavia, meminta saya untuk mengajaknya jalan-jalan di Jakarta keesokan harinya setelah dia mengirim pesan ke inbox FB saya.

Kebetulan yang baik sekali karena keesokan harinya saya tidak punya banyak kesibukan--selain mempersiapkan kebaya yang baru dipakai gladiresik hari itu untuk dipakai di hari wisuda esok lusanya. Jadilah saya bertemu dengan bule itu yang tiba-tiba membawa teman seperjalanan yang juga cowok Skandinavia ganteng ke TMII!



Kalau dari pengalaman di atas saya selalu menjadi orang yang "didatangi", bulan Agustus 2014 saya mencoba menjadi orang yang "mendatangi" alias surfer (silakan baca: Jalan-jalan di Timika).

dihostin pustakawan di Timika
Semua pengalaman saya dengan mereka yang pernah saya temui berkat Couchsurfing tentunya menambah kesan positif saya terhadap Couchsurfing. Luar biasanya saya dengan mereka masih saling kontak, bahkan menjalin hubungan bisnis, pertemanan, dan persahabatan dengan mereka.

Itu pengalamanku, bagaimana denganmu? ;)

I'M LOVING COUCHSURFING!

Komentar

  1. Mba, mau tanya dong.., itu aacount CS nya yang uda verified atau account biasa ya ??.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pilihan sih itu, klo aku biasa aja. Dibanding akun biasa, jelas yang verified (berbayar) ada kelebihannya -> https://support.couchsurfing.org/hc/en-us/articles/200640400-Do-I-have-to-verify-my-account-to-use-Couchsurfing-

      Hapus

Posting Komentar